WARISAN SUMATERA: MESJID ISMA’ILIYAH

Minggu, 16 Agustus 2009


WARISAN SUMATERA: MESJID ISMA’ILIYAH

Masyarakat setempat mengenalnya sebagai mesjid istana, peninggalan Tengku Haji Isma’il Sulung Laut, Raja Negeri Bedagai yang masih kokoh berdiri hingga kini. Hampir sama dengan mesjid-mesjid lain di wilayah pesisir Melayu, mesjid Jamik Isma’iliyah yang berada di Desa Pekan Kecamatan Tanjung Beringin ini sangat kental dengan nuansa Melayu. Mesjid ini didirikan pada tahun 1882 oleh Raja Negeri Bedagai saat itu, Tengku Isma’il Sulung Laut. Kabarnya bahan-bahan bangunan mesjid ini didatangkan khusus dari Malaysia oleh pemborongnya yang orang Penang. Selesai membangun mesjid, Sulung Laut membangun istana disampingnya dan selesai pada tahun 1898. namun karena bangunan istana lebih tinggi dari mesjid, Sulung Laut meninggikan kembali mesjid itu. “Ketika itu dipercaya mesjid memang tidak boleh lebih rendah dari bangunan lain, “ kata M. Yusuf (75), tokoh masyarakat Tanjung Beringin. Tahun 1937, mesjid ini direhab dengan mengganti atapnya dari genteng menjadi seng. Terakhir pada tahun 1982, mesjid ini kembali direhab dengan mengganti tiang-tiang besi menjadi beton, membangun menara, pintu gerbang dan menghiasinya dengan “Kelumai” (hiasan segitiga meruncing kebawah berwarna kuning yang dipasang pada sisi atap).

Walau kini bentuk bangunan mesjid sudah mengalami banyak perubahan dari aslinya, namun pada beberapa bagian masih meninggalkan bentuk aslinya. Mimbar khutbah misalnya. Mimbar yang terbuat dari kayu ini masih tampak kuat. Ukiran yang menghiasinya menunjukkan ornament Melayu yang kental apalagi diwarnai dengan warna emas yang dipadu dengan warna hitam, sangat kontras. Mimbar ini memiliki tinggi dua meter sehingga orang yang memberi khutbah dapat terlihat dari barisan belakang. Seperti mesjid-mesjid kerajaan lainnya, dihalaman belakang ini juga dijadikan areal pemakaman kelaurga dan pejabat kerajaan. Persis di pintu belakang mesjid terdapat tiga makam Raja Bedagai, masing-masing Tengku Isma’il Sulung Laut, Tengku Rahmat Bendahara Putra Raja (putra Sulung Laut) dan Tengku Zainarrasyid Pangeran Nara Kelana (Putra Sulung Laut). Sulung Laut wafat pada 21 Maret 1914, Tengku Rahmat pada 2 Desember 1905 dan Tengku Zainnarrasyid pada 12 Oktober 1932. berurutan ke bawah mendekati sungai Bedagai, makam para pejabat dan ulama kerjaan seperti makam para Datuk perdana dan Datuk Setia, makam Panglima Daud dan Datuk Sri Amar Asmara serta imam kerajaan, Syekh Haji Ibrahim. Pada bagian belakang mesjid masih tampak wajah asli mesjid karena serambinya tidak dipugar dan dikeramik. Hanya tiangnya saja yang diganti. Sementara disisi kanan-kiri mesjid, pada tiang-tiang mesjid tertulis ukiran nama Allah dan Muhammad. Demikian juga undakan yang menjadi teras mesjid masih asli. Batu-batu alam yang menjadi lantai teras tampak sangat alami. Menurut M. Yusuf jemaah mesjid ini selalu ramai dari warga sekitarnya. Tak jarang banyak juga jemaah dari luar yang sengaja datang untuk melihat dan beribadah di mesjid ini. ”Mereka umumnya ingin melihat dari dekat mesjid peninggalan Kerajaan Bedagai ini,” katanya. Sebab inilah satu-satunya peninggalan kerajaan tersebut yang masih tertinggal sementara bangunan istana yang berada disebelahnya kini tidak ada lagi. Sayangnya pada beberapa bagian mesjid yang memiliki nilai sejarah ini tampak tidak terawat baik, misalnya menara mesjid yang cetnya mulai keropos.